Mawar adalah seorang peragawati yang akan diseleksi dengan
tinggi badan 173 cm. Standar tinggi badan rata-rata peragawati adalah 171,8 dan
standar deviasinya adalah 12. Berapakah standar normalnya (Z) ?
Penyelesaian :
Dik : x = 173, µ = 171,8, σ = 12
Dit : Z ?
Jawab : Z = x - µ
σ
= 173 – 171.8 = 0.1
12
C. PENDEKATAN DISTRIBUSI BINOMIAL KE DISTRIBUSI NORMAL
Jumlah suatu distribusi mempunyai n ≥ 30 dan n,p ≥ 5 atau n(1-p)≥ 5 maka
penyelasaian probabilitas dapat menggunakan pendekatan distribusi binomial ke
distribusi normal dengan terlebih dahulu mencari nilai µ dan σ yaitu :
σ = √ n . p . q ket : p= probabilitas sukses
µ = n . p q= probabilitas gagal
q =1 - p
Kalau x merupakan varibel diskrit sekaligus variabel continue maka perlu
diadakan koreksi dengan menambah atau mengurangi nilainya dengan 0.5
Contoh Soal : Akhir tahun 1999, jumlah mahasiswa Kampus Selang sebanyak 752
orang. Yang mendapat bea siswa dari kampus tersebut ada 650 orang. Peluang yang
mendapat bea siswa adalah 90%. Berapakah :
a.Rata-rata mahasiswa yang seharusnya mendapat bea siswa ?
b.Standar deviasinya ?
c.Standar normalnya ?
Penyelesaian :
Dik : x = 650, n = 752, p = 90% = 0.9
q = 1 – p
= 1 – 0.9
= 0.1
Dit : a. µ : ?
b. σ : ?
c. Z : ?
jawab :
a. µ = n . p
= 752 . 0.9
= 676.8
b. σ = √ n . p . q
= √ 752 . 0.9 . 0.1
= √ 67.68
= 8.227
c. Z = (x - µ )/σ
= 650 – 676.8/ 8.227
= - 26.8 / 8.227
= - 3.258
ANALISIS CHI KUADRAT
Dalam teori probabilitas dan
statistika, distribusi chi-kuadrat (bahasa Inggris: Chi-square
distribution) atau distribusi χ² dengan k derajat
kebebasan adalah distribusi jumlah kuadrat k peubah acak normal baku
yang saling bebas. Distribusi ini seringkali digunakan dalam statistik
inferensial, misalnya dalam pengujian hipotesis, atau dalam konstruksi selang
kepercayaan. [2][3][4][5] Ketika dibandingkan dengan distribusi
chi-kuadrat nonsentral, distribusi ini kadang disebut distribusi
chi-kuadrat sentral.
Salah satu penggunaan distribusi
ini adalah uji chi kuadrat untuk kepatutan (goodness of fit) suatu
distribusi pengamatan dengan distribusi teoretis, kriteria klasifikasi
analisis data yang saling bebas, serta estimasi selang kepercayaan untuk
simpangan baku populasi berdistribusi normal dari simpangan baku sampel.
Sejumlah pengujian statistika juga menggunakan distribusi ini, seperti Uji
Friedman.
Distribusi chi-kuadrat merupakan
kasus khusus distribusi gamma.
Uji Chi Kuadrat adalah pengujian
hipotesis mengenai perbandingan antara :frekuensi observasi/yg benar-benar
terjadi/aktual denganfrekuensi harapan/ekspektasi
Pengertian Frekuensi Observasi dan
Frekuensi Harapan
frekuensi observasi →
nilainya didapat dari hasil percobaan (o)
frekuensi harapan → nilainya
dapat dihitung secara teoritis (e)
Bentuk Distribusi Chi Kuadrat
(χ²):
Nilai χ² adalah nilai kuadrat karena itu nilai χ² selalu positif.
Bentuk distribusi χ² tergantung
dari derajat bebas(db)/degree of freedom.
Berapa nilai χ² untuk db = 5
dengan α = 0.010? (15.0863)
Berapa nilai χ² untuk db = 17 dengan α = 0.005? (35.7185)
Alvina
Pengertian α pada Uji χ² sama
dengan pengujian hipotesis yang lain, yaitu luas daerah penolakan H0 atau
taraf nyata pengujian
Pengunaan Uji χ²
Uji χ² dapat digunakan untuk :
a. Uji Kecocokan = Uji kebaikan-suai = Goodness of fit test
b. Uji Kebebasan
c. Uji beberapa proporsi
Prinsip pengerjaan (b) dan (c) sama saja
Prosedur dan contoh soal Uji
Chi-Kuadrat adalah sebagai berikut :
1). Urutkan data pengamatan (dari
data terbesar sampai dengan data terkecil atau sebaliknya)
2). Tentukan range nilai peluang
yang akan diambil
3). Tentukan nilai K, yaitu
Variabel Reduksi Gauss, untuk setiap nilai peluang
4). Masukkan nilai K tersebut
dalam persamaan berikut :
Berikut ini adalah contoh dari Uji
Chi-Kuadrat :
·Urutkan data pengamatan dari nilai tertinggi
hingga nilai terendah
·Tentukan range nilai peluang (P) yang akan
diambil.
Dari hasil perhitungan nilai peluang terkecil adalah
0,03 (lihat tabel LA-7) dan nilai peluang terbesar 0,97 (lihat tabel LA-7).
Agar dapat membagi data dalam 5 grup maka diambil range nilai peluang sebesar
0,2
·Dicari nilai K, yaitu nilai Variabel Reduksi
Gauss, untuk setiap nilai peluang.
Dalam hal ini yaitu peluang sebesar 0,2, 0,4, 0,6,
0,8. Penentuan nilai K dapat dilihat pada Tabel L-5 (Lihat dalam postingan saya
sebelumnya : Distribusi Frekuensi).
·Nilai K tersebut kemudian dimasukkan ke dalam
persamaan 1
Contoh perhitungan untuk P = 0,2 dengan menggunakan
Persamaan 1
GEOMETRI KUBUS merupakan bangun ruang yang terdiri dari
persegi yang kongruen (sama besar).
BAGIAN – BAGIAN KUBUS
Rusuk Rusuk ialah ruas garis pada kubus dan balok,
terdapat 12 rusuk. Pada kubus rusuk yang dimiliki sama panjang namun pada balok
rusuk yang sejajar saja yang memiliki panjang yang sama. Contoh: Rusuk alas : AB, BC, CD, AD Rusuk tegak : AE, BF, CG, EH Rusuk atap : EF, FG, GH, EH Bidang / sisi Bidang/sisi adalah bagun datar yang
memisahkan antara bagian dalam dan bagian luar. Banyaknya sisi yang dimilikinya
sebanyak enam sisi. Sisi alas : ABCD Sisi atas : EFGH Sisi kanan : BCGF Sisi kiri : ADHF Sisi depan : ABFE Sisi belakang : CDHG Titik sudut Terdapat 8 titik sudut pada bangun ini.
Penamaan titik sudut ini menggunakan huruf capital, titik sudut merupakan
pertemuan 3 rusuk yang bertemu pada satu titik. Yaitu: A, B, C, D, E,
F, G, H. Diagonal sisi Diagonal sisi adalah ruas garis yang
terbentuk oleh sudut yang berhadapan pada satu bidang. Ada 12 diagonal sisi,
hal ini didapat karena pada kubus dan balok mempunyai 6 bidang/sisi
masing-masing bidang tersebut memiliki 2 sudut yang berhapan maka didapatkanlah
2 diagonal sisi, maka 2 x 6 (banyaknya sisi) = 12. Contoh: AC, BD, AF, BE, dll. Diagonal ruang Diagonal ruang adalah ruas garis yang
terbentuk oleh sudut yang berhadapan pada satu ruang. Terdapat 4 diagonal
ruang, yaitu: AG, BH, CE, DF. Bidang diagonal
Terdapat 6
bidang diagonal pada kubus dan balok. Bidang diagonal ini terdapat pada bagian
dalam yang berbentuk persegi panjang, yaitu: ACGE, BFHD, BCHE, ADGF, dll.
RUMUS KUBUS Volume kubus: V = s x s x s = s³ Panjang rusuk: P rusuk = 12 x s = 12s Luas kubus/luas permukaan kubus: L = 6 x s² = 6s²
. Sifat-Sifat Kubus
Untuk memahami sifat-sifat kubus, coba kamu
perhatikan Gambar 8.6. Gambar tersebut menunjukkan kubus ABCD.EFGH yang
memiliki sifat-sifat sebagai berikut. a. Semua sisi kubus berbentuk persegi.
Jika diperhatikan, sisi ABCD, EFGH, ABFE dan seterusnya memiliki bentuk persegi
dan me miliki luas yang sama. b. Semua rusuk kubus berukuran sama panjang.
Rusuk-rusuk kubus AB, BC, CD, dan seterusnya memiliki ukuran yang sama panjang. c. Setiap diagonal bidang pada kubus memiliki
ukuran yang sama panjang.
Perhatikan ruas garis BG dan CF pada Gambar 8.6 . Kedua garis tersebut
merupakan diagonal bidang kubus ABCD.EFGH yang memiliki ukuran sama panjang. d. Setiap diagonal ruang pada kubus memiliki
ukuran sama panjang.
Dari kubus ABCD.EFGH pada Gambar 8.6 , terdapat dua diagonal ruang, yaitu HB
dan DF yang keduanya berukuran sama panjang. e. Setiap bidang diagonal pada kubus memiliki
bentuk persegipanjang.
Perhatikan bidang diagonal ACGE pada Gambar 8.6 . Terlihat dengan jelas bahwa
bidang diagonal tersebut memiliki bentuk persegipanjang.
3. Menggambar Kubus
Kamu telah memahami pengertian, unsur, dan
sifat-sifat kubus. Sekarang, bagaimana cara menggambarnya? Menggambar bangun
ruang khususnya kubus, lebih mudah dilakukan pada kertas berpetak. Adapun
langkah-langkah yang harus dilakukan adalah sebagai berikut.
• Gambarlah
sebuah persegi, misalkan persegi ABFE yang berperan sebagai sisi depan. Bidang
ABFE ini disebut sebagai bidang frontal, artinya bidang yang dibuat sesuai
dengan bentuk sebenarnya.
• Langkah
selanjutnya, buatlah ruas garis yang sejajar dan sama panjang dari setiap sudut
persegi yang telah dibuat sebelumnya. Panjang ruasruas garis tersebut kurang
lebih setengah dari panjang sisi persegi dengan kemiringan kurang lebih 45.
Garis AD digambar putus-putus, ini menunjukkan bahwa ruas garis tersebut
terletak di belakang persegi ABFE.
• Kemudian, buatlah persegi dengan cara meng hubungkan ujung-ujung ruas garis
yang telah dibuat sebelumnya. Beri nama persegi CDHG. Persegi tersebut berperan
sebagai sisi belakang dari kubus yang akan dibuat. sisi atas, sisi bawah, dan
sisi samping digambarkan berbentuk jajargenjang. Bidang seperti ini disebut
bidang ortogonal, artinya bidang yang digambar tidak sesuai dengan keadaan
sebenarnya.
Dewasa
ini banyak lontaran kritik terhadap sistem pendidikan yang pada dasarnya
mengatakan bahwa perluasan kesempatan belajar cenderung telah menyebabkan
bertambahnya pengangguran tenaga terdidik dari pada bertambahnya tenaga
produktif yang sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja. Kritik ini tentu saja
beralasan karena data sensus penduduk memperhatikan kecenderungan yang menarik
bahwa proporsi jumlah tenaga penganggur lulusan pendidikan yang lebih tinggi ternyata
lebih besar dibandingkan dengan proporsi penganggur dari lulusan yang lebih
rendah (Ace Suryadi, 1993: 134). Dengan kata lain persentase jumlah penganggur
tenaga sarjana lebih besar dibandingkan dengan persentase jumlah pengganggur
lulusan SMA atau jenjang pendidikan yang lebih rendah.
Namun,
kritik tersebut juga belum benar seluruhnya karena cara berfikir yang digunakan
dalam memberikan tafsiran terhadap data empiris tersebut cenderung menyesatkan.
Cara berfikir yang sekarang berlaku seolah-olah hanya memperhatikan pendidikan
sebagai satu-satunya variabel yang menjelaskan masalah pengangguran. Cara
berfikir seperti cukup berbahaya, bukan hanya berakibat pada penyudutan sistem
pendidikan, tetapi juga cenderung menjadikan pengangguran sebagai masalah yang
selamanya tidak dapat terpecahkan.
Berdasarkan
keadaan tersebut, penjelasan secara konseptual terhadap masalah-masalah
pengangguran tenaga terdidik yang dewasa ini banyak disoroti oleh masyarakat,
sangat diperlukan. Penjelasan yang bersifat konseptual diharapkan mampu
mendudukkan permasalahan pada proporsi yang sebenarnya, khususnya tentang
fungsi dan kedudukan sistem pendidikan dalam kaitannya dengan masalah
ketenagakerjaan.
Berangkat
dari asumsi bahwa bertambahnya tingkat pengangguran disebabkan karena kegagalan
sistem pendidikan, maka diperlukan adanya pendekatan-pendektan tertentu dalam
pendidikan dan konsep Link and Match perlu dihidupkan kembali dalam sistem
pendidikan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang diatas, maka ada beberapa pertanyaan terkait konsep link and macth
dalam pendidikan, yaitu:
1. Bagaimana konsep
dasar Link and Match dalam pendidikan?
2. Mengapa Link and
Match itu diperlukan dalam pendidikan?
3.
Pendekatan-pendekatan apa saja yang digunakan untuk mewujudkan Link and Match
dalam pendidikan?
4. Bagaimana
hubungan antara pendidikan dan ketenagakerjaan?
C. Tujuan Penulisan
Berangkat dari
rumusan masalah tersebut, maka tujuan penulisan ini adalah untuk:
1. Mengetahui
konsep dasar Link and Match dalam pendidikan
2. Mengetahui perlunya
Link and Match dalam pendidikan
3. Mengetahui
Pendekatan-pendekatan apa saja yang digunakan untuk mewujudkan Link and Match
dalam pendidikan
4. Mengetahi
hubungan pendidikan dan ketenagakerjaan
II. Pembahasan
A. Konsep Link and
Match
Pada
mulanya, sebelum ada pendidikan melalui sekolah seperti sekarang, pendidikan
dijalnkan secara spontan dan langsung dalam kehidupan sehari-hari. Anak-anak
petani langsung mempelajri pertanian dengan langsung bekerja di sawah,
anak-anak nelayan langsung mempelajari kelautan dan perikanan langsung
mengikuti orang dewasa menangkap ikan. Selagi mempelajari pekerjaan yang
dilakukan, mereka sekaligus juga belajar tentang nilai-nilai dan norma-norma
yang berhubungan dengan pekerjaannya. Dilihat secara demikian, maka pendidikan
pada dasarnya merupakan sesuatu yang kongkret, spontan, dan tidak direncanakan
tetapi langsung berhubungan dengan keperluan hidup. Dengan kata lain, dalam
situasi yang belum mengenal sistem sekolah, sifat pendidikan pada dasarnya
sesalu bersifat linked and matched.
Konsep
keterkaitan dan kesepadanan (Link and Match) antara dunia pendidikan dan dunia
kerja yang dicetuskan mantan Mendiknas Prof. Dr. Wardiman perlu dihidupkan
lagi. Konsep itu bisa menekan jumlah pengangguran lulusan perguruan tinggi yang
dari ke hari makin bertambah.
Selanjutnya
Soemarso, Ketua Dewan Pembina Politeknik dan juga dosen UI mengatakan bahwa
konsep Link and Match antara lembaga pendidikan dan dunia kerja dianggap ideal.
Jadi, ada keterkaitan antara pemasok tenaga kerja dengan penggunanya. Menurut
Soemarso, dengan adanya hubungan timbal balik membuat perguruan tinggi dapat
menyusun kurikulum sesuai dengan kebutuhan kerja. Contoh nyata Link and Match
dengan program magang. Perbaikan magang, dimaksudkan agar industri juga
mendapatkan manfaat. Selama ini ada kesan yang mendapatkan manfaat dari magang
adalah perguruan tinggi dan mahasiswa, sedangkan industri kebagian repotnya.
Di
sisi lain, produk dari Perguruan Tinggi menghasilkan sesuatu yang amat berharga
dan bukan hanya sekedar kertas tanpa makna, yaitu produk kepakaran, produk
pemikiran dan kerja laboratorium. Produk-produk ini masih sangat jarang dilirik
oleh industri di Indonesia. Produk kepakaran yang sering dipakai adalah yang
bersifat konsultatif. Tetapi produk hasil laboratorium belum di akomodasi
dengan baik.
Menjalankan
Link and Match bukanlah hal yang sederhana. Karena itu, idealnya, ada tiga
komponen yang harus bergerak simultan untuk menyukseskan program Link and Match
yaitu perguruan tinggi, dunia kerja (perusahaan) dan pemerintah. Dari ketiga
komponen tersebut, peran perguruan tinggi merupakan keharusan dan syarat
terpenting. Kreativitas dan kecerdasan pengelola perguruan tinggi menjadi
faktor penentu bagi sukses tidaknya program tersebut.
Ada
beberapa langkah penting yang harus dilakukan suatu perguruan tinggi untuk
menyukseskan program Link and Match. Perguruan tinggi harus mau melakukan riset
ke dunia kerja. Tujuannya adalah untuk mengetahui kompentensi (keahlian) apa
yang paling dibutuhkan dunia kerja dan kompetensi apa yang paling banyak
dibutuhkan dunia kerja. Berdasarkan penelitian yang dilakukan salah satu
perguruan tinggi di Indonesia diketahui, keahlian (kompentensi) yang paling
banyak dibutuhkan dunia kerja adalah kemampuan komputasi (komputer),
berkomunikasi dalam bahasa Inggris dan kemampuan akuntansi. Selain itu,
perguruan tinggi juga harus mampu memprediksi dan mengantisipasi keahlian
(kompetensi) apa yang diperlukan dunia kerja dan teknologi sepuluh tahun ke
depan.
Seharusnya
perguruan tinggi mulai menjadikan kompetensi yang dibutuhkan dunia kerja
sebagai materi kuliah di kampusnya. Dengan demikian, diharapkan, lulusan
perguruan tinggi sudah mengetahui, minimal secara teori, tentang kompetensi apa
yang dibutuhkan setelah mereka lulus. Meskipun demikian, perguruan tinggi tidak
harus menyesuaikan seluruh materi kuliahnya dengan kebutuhan dunia kerja.
Sebab, harus ada materi kuliah yang berguna bagi mahasiswa yang termotivasi
untuk melanjutkan studi ke jenjang strata yang lebih tinggi d.
Langkah
penting lainnya, perguruan tinggi harus menjalin relasi dan menciptakan link
dengan banyak perusahaan agar bersedia menjadi arena belajar kerja (magang)
bagi mahasiswa yang akan lulus. Dengan magang langsung (on the spot) ke dunia
kerja seperti itu, lulusan tidak hanya siap secara teori tetapi juga siap
secara praktik.
Jika
program Link and Match berjalan baik, pemerintah juga diuntungkan dengan
berkurangnya beban pengangguran (terdidik). Karena itu, seyogianya pemerintah
secara serius menjaga iklim keterkaitan dan mekanisme implementasi ilmu dari
perguruan tinggi ke dunia kerja sehingga diharapkan program Link and Match ini
berjalan semakin baik dan semakin mampu membawa manfaat bagi semua pihak.
Manfaat
yang dapat dipetik dari pelaksanaan Link and Match sangat besar. Karena itu,
diharapkan semua stake holders dunia pendidikan bersedia membuka mata dan diri
dan mulai bersungguh-sungguh menjalankannya. Perguruan tinggi harus lapang dada
menerima bidang keahlian (kompentensi) yang dibutuhkan dunia kerja sebagai
materi kuliah utama. Perusahaan juga harus membuka pintu selebar-lebarnya bagi
mahasiswa perguruan tinggi yang ingin magang (bekerja) di perusahaan tersebut.
Sedangkan Pemerintah harus serius dan tidak semata memandang program Link and
Match (keterkaitan dan kesepadanan) sebagai proyek belaka.
Secara tradisional
teori kependidikan menekankan tiga tujuan instruksional pokok: kognitif,
afektif dan psikomotorik. Banyak orang berpendapat bahwa sisi afektif dari
pendidikan adalah yang paling penting. Seperti ditekankan oleh Paola friere,
suatu konsep pendidikan, dimana otak manusia hanya seperti rekening bank tidak
berlaku atau sesuai lagi. Tujuan yang lebih berkaitan dengan proses menyadarkan
orang bahwa kemampuan berfikir dan menentukan identitas diri sekarang ini jauh
lebih penting. Pendidikan dan pembelajaran adalah proses bukan produk akhir.
Ivan Illich pernah mengatakan bahwa kita tidak boleh mengijinkan pendidikan
formal mengganggu proses belajar terus menerus. Tidak selayaknya orang berhenti
dari proses belajar sesudah pendidikan formal selesai (Sindhunata, 2000: 130).
B. Pendekatan dalam
Mewujudkan Link and Match
1. Pendekatan
Sosial
Pendekatan
sosial merupakan pendekatan yang didasarkan atas keperluan masyarakat pada saat
ini. Pendekatan ini menitik beratkan pada tujuan pendidikan dan pada pemerataan
kesempatan dalam mendapatkan pendidikan (Husaini Usman, 2006: 56). Menurut A.W.
Gurugen pendekatan sosial merupakan pendekatan tradisional bagi pembangunan
pendidikan dengan menyediakan lembaga-lembaga dan fasilitas demi memenuhi
tekanan tekanan untuk memasukan sekolah serta memungkinkan pemberian kesempatan
kepada murit dan orang tua secara bebas (Djumberansyah Indar, 1995: 30).
Sebagai contoh penerapan pendekatan ini adalah diterapkannya sistem ganda
melalui kebijakan Link and Match.
Menurut
Bohar Soeharto perencanaan sosial adalah proses cara menjelaskan dan memecahkan
masalah yang berhubungan dengan masyarakat atau berhubungan dengan aspek sosial
dari kehidupan individu untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien (Bohar
Soeharto, 1991: 28).
Pendekatan
yang dikemukakan Geruge ini bersifat tradisional dimana penekanan ini
didasarkan kepada tujuan untuk memenuhi tuntutan atau permintaan seluruh
individu terhadap pendidikan pada tempat dan waktu tertentu dalam situasi perekonomian,
politik, dan kebudayaan yang ada pada waktu itu. Ini berarti bahwa sektor
pendidikan harus menyediakan lembaga-lembaga pendidikan serta fasilitas untuk
menampuk seluuruh kelompok umur yang ingin menerima pendidikan.
Pendekatan
sosial dalam perencanaan pendidikan sebagaimana dimaksud diatas, pernah dituang
secara tepat dalam Robbins Comunitte on Higher Education di Inggris pada tahun
1963 dengan alasan pemilihan pendektan ini bahwa: ”all young person qualified
by ability and attaint ment to pursue a full time course in higher education
should have the opportunity to do so” (Bohar Soeharto, 1991: 28).
Selanjutnya dalam
pendekatan ini ada beberapa kelemahan dalam pendekatan ini diantaranya adalah
sebagai berikut:
1. Pendekatan ini
mengabaiakan masalah alokasi dalam skala nasional, dan secara samar tidak
mempermasalahkan besarnya sumber daya pendidikan yang dibutuhkan arena
beranggapan bahwa penggunaan sumberdaya pendidikan yang terbaik adalah untuk
segenap rakyat Indonesia.
2. Pendekatan ini
mengabaiakn kebutuhan ketenagakerjaan (man power planning) yang diperlukan
dimasyarakat sehingga dapat menghasilkan lulusan yang sebenarnya kurang
dibutuhkan masyarakat.
3. Pendekatan ini
cenderung hanya menjawab pemerataan pendidikan saja sehingga kuantitas lebih diutamakan
dari pada kualitanya (Syaefudin Sa’ud, 2006: 236).
2. Pendekatan
Ketenagakerjaan
Pendekatan
yang dipakai dalam penyusunan perencanaan pendidikan suatu negara sangat
tergantung kepada kebijakan pemerintah yang sedang dilaksanakan. Karenanya
wajar jikalau timbul pendekatan yang berbeda-beda antara beberapa negara dan
juga terjadi perbedaan dalam pendekatan perencanaan antara berbagai periode
pembangunan dalam satu negara. Dalam kebijakan pemerintah (sebut saja kebijakan
lima tahunan), disana tergambar secara jelas harapan-harapan yang akan dan
harus dipenuhi oleh sektor pendidikan. Dengan kata lain kebutuhan akan
pendidikan yang akan menjadi sasaran dalam perencanaan selalu dijadikan
penuntun atau bisa dikatakan sebagai kebijakan awal perencanaan.
Di
dalam pendekatan ketenagakerjaan ini kegiatan-kegitan pendidikan diarahkan
kepada usaha untuk memenuhi kebutuhan nasional akan tenaga kerja pada tahap
permulaan pembangunan tentu saja memerlukan banyak tenaga kerja dari segala
tingkatan dan dalam berbagai jenis keahlian.
Dalam
keadaan ini kebanyakan negara mengharapkan supaya pendidikan mempersiapkan dan
menghasilkan tenaga kerja yang terampil untuk pembangunan, baik dalam sektor
pertanian, perdagangan, industri dan sebagainya (Jusuf Enoch, 1992: 90). Untuk
itu perencana pendidikan harus mencoba membuat perkiraan jumlah dan kualitas
tenaga kerja dibutuhkan oleh setiap kegiatan pembangunan nasional.
Dalam
hal ini perencana pendidikan dapat menyakinkan bahwa penyediaan fasilitas dan
pengarahan arus murid benar-benar didasarkan atas perkiraan kebutuhan tenaga
kerja tadi. Akan tetapi metode-metode untuk memperkirakan kebutuhan tenaga
kerja perlu ditetapkan terlebih dahulu sesuai dengan kepentingan dan kondisi
negara yang bersangkutan. Salah satu metode misalnya bukan hanya sekedar
memperhatikan kebutuhan saja tetapi perlu meneliti berbagai jenis tenaga yang
telatih yang diperlukan oleh negara atas dasar perbandingan atau ratio yang
seimbang, misalnya perbandingan antara insiyur dan teknisi ahli.
Pendidikan
ketenagakerjaan ini sering dipergunakan oleh negara-negara yang sudah
berkembang ataupun negara yang teknologinya sudah maju, dimana setiap waktu
diperlukan jenis keahlian yang baru. Ahli teknologi modern dengan menciptakan
teori dan sistem yang baru dengan sendirinya mendorong teknologi untuk
berkembang secara pesat dan hal ini menyebabkan pula timbulnya kebutuhan akan
tenaga ahli dari jenis yang baru untuk menangani atau mengelolanya.
Negara-negara
yang mempergunakan pendekatan ketenagakerjaan mengarahkan kegiatan-kegiatan
pendidikannya secara teratur kepada usaha untuk memenuhi tuntutan dunia
lapangan kerja dalam segala bidang. Para ahli ekonomi mengharapkan agar ada
keseimbangan antara penambahan lapangan kerja dengan peningkatan pendapatan
nasionl. Penambahan lapangan kerja akan meningkatkan pendapatan nasional,
pendapatan nasional yang telah ditingkatkan akan memberi peluang untuk
memperluas lapangan kerja. Ini berarti penyerapan tenaga kerja akan lebih
banyak.
Perencana
pendidikan diminta untuk merencanakan kegiatan/usaha pendidikan sedemikian rupa
sehingga menjamin setiap individu, tentunya seorang lulusan lembaga pendidikan
dapat terjun ke masyarakat dengan suatu kemampuan untuk menjadi seorang pekerja
yang produktif. Dengan kata lain sistem pendidikannya harus menghasilkan
lulusan dari berbagai tingkat dan jenis yang siap pakai.
Dalam
pendekatan keperluan akan tenaga kerja (manpower approach), jumlah tenaga kerja
yang dibutuhkan dihitung dari jumlah pendapatan nasional yang direncanakan atau
yang diperhitungkan akan dicapai. Dengan kata lain, anak didik melalui sistem
pendidikan harus disiapkan menjadi tenaga kerja, dan perencanaan mengenai
keperluan akan tenaga kerja harus diintegrasikan secara menyeluruh ke dalam
perencanaan ekonomi. Jadi, dal;am merencanakan keprluan tenaga kerja,
perkembangan ekonomi dimasa depan dianggap sebagai variabel yang independen
karena dianggap sebagai tujuan atau target yang ditetapkan secara tersendiri.
Menurut
pendekatan ini, perhitungan kebutuhan tenaga kerja dan perencanaan pendidikan
yang ditujukan kearah pembetukan tenaga kerja dianggap sebagai prasyarat bagi
pertumbuhan ekonomi yang secara struktural seimbang dan sebagi prasyarat bagi
sistem pendidikan yang fungsional. Kebutuhan akan tenaga kerja semat-mata dari
pertumbuhan ekonomi di masa depan dianggap relevan bagi alokasi tenaga kerja
yang efisien dan bagi penggunaan secara optimal sumber-sumber yang tersedia
pada sistem pendidikan.
Cara
pendekatan persoalan pendidikan seperti ini dapatt dikatkan sebagai pendekatan
ekonomi uni-dimensional atau pendekatan pendidikan yang ditujuakan kepada
pasaran kerja, dimana pembiayaan-pembiayaan pendidikan diperlakukan sebagai
pengeluaran konsumsi dan bukan sebagai pengeluaran investasi (Sindhunata, 2001:
17).
Dalam
teorinya pendekatan ini lebih mengutamakan keterkaitan lulusan sistem
pendidikan dengan tuntutan akan kebutuhan tenaga kerja, didalam pendekatan ini
juga mempunyai kelemahan, dimana ada tiga kelemahan yang paling utama, yaitu;
1. Mempunyai
peranan yang terbatas dalam perencanaan pendidikan, karena pendekatan ini
mengabaikan keberadaaan sekolah umum karena hanya akan menghasilkan
pengangguran saja, pendekatan ini lebih mengutamakan sekolah menengah kejuruan
untuk memenuhi kebutuhan kerja.
2. Menggunakan
klasifikasi rasio permintaan dan persediaan
3. Tujuan dari pada
pendekatan ini hanyalah untuk memenuhan kebutuhan tenaga kerja, disisi lain
tuntutan dunia kerja berubah ubah sesuai dengan cepatnya perubahan zaman
(Husaini Usman, 2006: 59).
Blaug
dan Faure menyimpulkan bahwa masalah pengangguran dikalangan terdidik dapat
ditekan dengan memperbaiki sistem dan perencanaan pendidikan yang baik. Perlu
kita cermati sebenarnya peningkatan pengangguran bukan semata-mata kesalahan
dunia pendidikan, peningkatan pengangguran di karenakan sempitnya lapangan
kerja, sempitnya lapangan kerja disebabkan pemerintah yang kurang bisa membuka
lapangan kerja yang baru.
Perbaikan
sistem dan perencanaan pendidikan bukan berarti pendidikan harus melahirkan
atau meluluskan lulusan yang siap pakai. Kalau yang dimaksud dengan siap pakai
ialah kemampuan lulusan yang mengenali dan menguasai permasalahan rutin serta
mampu mengaplikasikan ilmunya; maka bukan pada tempatnya hal itu di belajarkan
pada pendidikan formal yang ada sekarang ini.
Perencanaan
pendidikan di Indonesia selain menggunkan pendekatan sosial juga menggunakan
pendekatan ketenagakerjaan. Disadarai dengan benar bahwa tanpa tenaga
pembangunan yang ahli, terampil dan sesuai dengan lapangan kerja tidak mungkin
pembangunan nasional dapat berjalan dengan lancar. Namun dalam kenyataannya
masih banyak hambatan-hambatan dalam usaha menyusun perencanaan pendidikan
dengan menggunakan pendekatan ketenagakerjaan ini, khususnya di negara
berkembang seperti Indonesia.
Beberapa hambatan
pokok antara lain sebagai berikut:16
a. Belum
tersedianya data dan informasi yang memadai untuk dapat menjawab pertanyaan
sehubungan dengan berapa banyak lapangan kerja yang ada menurut jenisnya;
berapa jumlah tenaga kerja menurut pendidikannya yang dapat diserap; bagaimana
pengembangan usaha/lapangan kerja ini di masa mendatang dan bagaimana proyeksi
tenaga kerja yang akan dibutuhkan; dan sebagainya.
b. Perencanaan
pendidikan, bila ingin menggunakan pendekatan ketenagakerjaan sangat memerlukan
data dan proyeksi kebutuhan tenaga kerja di masa mendatang. Selain perkiraan
akan kebutuhan tenaga kerja, juga masih diperlukan persyaratan yang jelas
mengenai mutu tenaga yang dituntut oleh pasaran tenaga kerja atau kualifikasi
lulusan lembaga pendidikan yang menjadi persyaratan untuk masing-masingjenis
pekerjaaan.
c. Walaupun
sekiranya data dan informasi mengenai ketenagakerjaan tersedia secara memadai,
namun hambatan itu akan tetap masih ada terutama dalam hal pengadaan tenaga
kerja itu sendiri melalui pendidikan formal. Penyebab utama ialah
ketidakmampuan sistem pendidikan nasional untuk mengadakan penyesuaian dengan
berbagai ragam kebutuhan akan keahlian dan kemampuan lulusannya (Jusuf Enoch,
1992: 93-95).
Pemerintah
tidak mungkin secara cepat mempersiapkan berbagai kelembagaan pendidikan untuk
mempersipakan lulusan yang siap pakai memasuki lapangan kerja yang sudah
menunggu. Hal ini bukan disebabkan biaya yang tidak mendukung, tapi lebih dari
itu pengadaan tenaga instruktur yang berkualifikasi baik, pengadaan lat dan
ryang praktek yang memenuhi tuntutan lapangan kerja serta fasilitas lainnya
sungguh memerlukan waktu untuk mewujudkannya. Disamping itu, kurikulum harus
disesuaikan dengan kebutuhan pasar. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan Putu
Pendit bahwa “kurikulum harus memenuhi kebutuhan lapangan”. Kurikulum, sebagai
bagian dari pendidikan, bukan semata-mata memenuhi permintaan tenaga kerja di
saat ini. Kurikulum sebagai alat dari pendidikan harus mengandung di dalamnya
upaya menyiapkan peserta didik dengan pengetahuan dan kemampuan yang berlaku
jauh lebih lama daripada perkembangan terakhir atau peristiwa sesaat.
C. Pendidikan dan
Ketenagakerjaan
Apakah
pendidikan formal merupakan penentu dalam menunjang pertumbuhan ekonomi?.
Apakah pengembangan sumber daya manusia selalu dilakukan melalui pendidikan
formal?. Titik singgung antara pendidikan dan pertumbuhan ekonomi adalah
produktivitas kerja, dengan asumsi bahwa semakin tinggi mutu pendidikan,
semakin tinggi produktivitas kerja, semakin tinggi pula pengaruhnya terhadap
pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat. Anggapan ini mengacu pada teori Human
Capital. Teori Human Capital menerangkan bahwa pendidikan memiliki pengaruh
terhadap pertumbuhan ekonomi karena pendidikan berperan di dalam meningkatkan
produktivitas kerja.
Teori
ini merasa yakin bahwa pertumbuhan suatu masyarakat harus dimulai dari
prodiktivitas individu. Jika setiap individu memiliki penghasilan yang tinggi
karena pendidikannya juga tinggi, pertumbuhan msyarakat dapat ditunjang
karenanya. Teori Human Capital ini menganggap bahwa pendidikan formal sebagai
suatu investasi, baik bagi individu maupun bagi masyarakat. Dari teori ini
timbul beberapa model untuk mengukur keberhasilan pendidikan bagi pertumbuhan
ekonomi, misalnya dengan menggunakan teknik cost benefit analysis, model pendidikan
tenaga kerja dan lain sebagainya.
Namun
dalam kenyataannya, asumsi-asumsi yang digunakan oleh teori Human Capital tidak
selalu benar. Hal ini terbukti dari hasil penelitian Cummings bahwa di
Indonesia ternyata menunjukkan kecenderungan yang tidak berbeda antara negara
maju dan negara berkembang, yaitu bahwa pendidikan formal hanya memberikan
kontribusi kecil terhadap status pekerjaan dan penghasilan lulusan pendidikan
formal dibandingkan dengan faktor-faktor luar sekolah.
Teori
Human Capital dianggap tidak berhasil, maka muncullah teori baru sebagai
koreksi terhadap teori sebelumya, yaitu teori kredensialisme. Teori ini
mengungkapkan bahwa strukrur masyarakat lebih ampuh dari pada individu dalam
mendorong suatu pertumbuhan dan perkembangan. Pendidikan formal hanya dianggap
sebagai alat untuk mempertahankan status quo dari para pemenang status sosial
yang lebih tinggi.Menurut teori ini perolehan pendidikan formal tidak lebih
dari suatu lambang status (misalnya melalui perolehan ”ijazah” bukan karena produktivitas)
yang mempengaruhi tingginya penghasilan.
Dua
teori yang dikemukan diatas, masing-masing memiliki kaitan erat dengan fungsi
sistem pendidikan yang diungkap oleh Sayuti Hasibuan. Menurutnya, fungsi sistem
pendidikan dalam kaitannya dengan ketenagakerjaan meliputi dua dimensi penting,
yaitu: 1). Dimensi kuantitatif yang meliputi fungsi sistem pendidikan dalam
pemasok tenaga kerja terdidik dan terampil sesuai dengan kebutuhan lapangan
kerja yang tersedia, 2). Dimensi kualitatif yang menyangkut fungsinya sebagai
penghasil tenaga terdidik dan terlatih yang akan menjadi sumber penggerak
pembangunan atau sebagai driving force (Sayuti Hasibuan, 1987).
Sistem
pendidikan sebagai suatu sistem pemasok tenaga kerja terdidik lebih banyak
diilhami oleh teori Human Capital. Sistem pendidikan memiliki arti penting
dalam menjawab tuntutan lapangan kerja yang membutuhkan tenaga kerja terampil
dalam berbagai jenis pekerjaan. Penyediaan tenaga kerja terdidik tidak hanya
harus memenuhi kebutuhan akan suatu jumlah yang dibutuhkan. Akan tetapi, yang
lebih penting ialah jenis-jenis keahlian dan keterampilan yang sesuai dengan
kebutuhan dunia industri. Teori Human Capital percaya bahwa pendidikan memiliki
anggapan lapangan kerja yang membutuhkan kecakapan dan keterampilan tersebut
juga sudah tersedia.
Fungsi
pendidikan sebagai penghasil tenaga penggerak pembangunan (driving force)
cenderung lebih sesuai dengan teori Kredensialisme. Sistem pendidikan harus
mampu membuka cakrawala yang lebih luas bagi tenaga yang dihasilkan, khususnya
dalam membuka lapangan kerja baru. Pendidikan harus dapat menghasilkan tenaga
yang mampu mengembangkan potensi masyarakat dalam menghasilkan barang dan jasa
termasuk cara-cara memasarkannya. Kemampuan ini amat penting dalam rangka
memperluas lapangan kerja dan lapangan usaha. Dengan demikian, lulusan sistem
pendidikan tidak bergantung hanya kepada lapangan kerja yang telah ada yang
pada dasarnya sangat terbatas, akan tetapi mengembangkan kesempatan kerja yang
masih potensial.
Teori
Kredensialisme merasa yakin bahwa pelatihan kerja merupakan media yang
strategis dalam menjembatani antara pendidikan dengan kebutuhan lapangan kerja.
Jika ada masalah ketidaksesuaian, hal ini dianggap sebagai ”gejala persediaan”
(supply phenomina), yaitu ketidaksesuaian antara pendidikan dan lapangan kerja
yang diungkapkan sebagai gejala ketidakmampuan sistem pendidikan dalam
menghasilkan lulusan yang mudah dilatih atau yang dapat membelajarkan diri agar
menjadi tenaga terampil sesuai dengan kebutuhan pasar.
Ketidaksesuain
tersebut mungkin juga dapat dianggap sebagi gejala prmintaan (demand
phenomina), yaitu ketidaksesuaian tersebut tidak semata-mata disebabkan oleh
sistem pendidikan itu sendiri, tetapi lapangan kerja juga belum memfungsikan
sistem pelatihan kerja secara optimal. Jika ketidaksesiaian anatra keterampilan
kerja dengan kebutuhan dunia industri dianggap sebagai demand phenomina, sitem
pelatihan kerja juga harus merupakan bagian yang integral di dalam industri
atau perusahaan. Dalam hubungan dengan hal tersebut, dunia industri akan
berfungsi sebagai training ground. Jika industri atau perusahaan sudah
berfungsi sebagai training ground, produktivitas tenaga kerja secara langsung
merupakan kontrolnya. Pelatihan dalam industri atau perusahaan ialah tempat
yang paling tepat untuk dapat menghasilakn tenaga kerja yang siap pakai (ready
trained), sementara sistem pendidikan formal secara maksimal harus mampu
menghasilkan tenaga potensial atau yang memiliki kecakapan dasar yang dapat
dikembangkan lebih jauh di dunia kerja.
Sekat-sekat
yang ada antara pendidikan, pelatihan dan tenaga kerja seperti yang kita alami
dewasa ini, setidak-tidaknya secara konseptual tidak terjadi dalam masyarakat
industri modern. Diperlukan program yang terintegrasi antara dunia pendidikan
dan pelatihan yang dibutuhkan oleh dunia industri (Tilaar, 1999: 178).
Program-program pelatihan tidak hanya dilaksanakan di dalam industri, tetapi
sistem pendidikan sekolah dan luar sekolah harus menyelenggarakan program
pelatihan yang relevan dengan kebutuhan dunia kerja.
Dalam
kaitan ini perlu ada refungsionalisasi SISDIKNAS yang membuka diri terhadap
keterlibatan penuh dari masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan nasional.
Dengan sistem yang seperti itu, bukan berarti akan menghilangkan pengangguran,
tentu saja masalah pengangguran akan selalu ada karena berbagai sebab ekonomis
ataupun non-ekonomis namun masalah pengangguran setidaknya dapat diminimalisir.
Fungsi
pendidikan sebagai pemasok tenaga kerja terdidik dan terlatih dapat diuji
berdasarkan kemampuannya dalam memenuhi jumlah angkatan kerja yang dibutuhkan
oleh lapangan kerja yang telah ada atau yang diperkirakan tersedia dalam suatu
sitem ekonomi. Untuk menguji kemampuan ini diperlukan perbandingan antara
persediaan angkatan kerja yang dihasilkan oleh sistem pendidikan dan latihan
dengan kebutuhan tenaga kerja dalam lapangan kerja yanga ada menurut kategori
tingkat pendidikan pekerja.
Terjadinya
kelebihan persediaan tenaga kerja berpendidikan dasar ini disebabkan oleh masih
banyak tersedianya lapangan kerja pada sektor tradisional dan sektor informal
pada saat truktur tenaga kerja telah mulai bergeser ke tingkat pendidikan yang
lebih tinggi. Keadaan ini didukung pila oleh kenyataan bahwa kelebihan
persediaan tenaga kerja terjadi pada tingkat-tingkat pendidikan yang lebih
tinggi, dan yang menjadi akibatnya pengangguran tenaga terdidik atau lulusan
Perguruan Tinggi akan terus bertambah setiap tahun.
Salah
satu sebab kesenjangan supply dan demand pendidikan tinggi ialah kesenjangan
antara keinginan mahasiswa (dan dorongan orang tua serta persepsi masyarakat)
dengan kebutuhan akan tenaga kerja. Mahasiswa lebih menyenangi program studi
profesional seperti ahli hukum dan ekonomi dibanding dengan program teknologi
maupun pertanian. Gejala ini terjadi juga di negara industri maju dan sangat
kuat di negara berkembang. Sebaliknya kebutuhan akan tenaga kerja yang banyak
ialah di bidang industri dan pertanian.
Angka
partisipasi dan bertambahnya lulusan Perguruan Tinggi belum dengan sendirinya
meningkatkan produktivitas kerja karena adanya pengangguran sarjana yang
semakin meningkat. Data pendidikan nasional kita menunjukkan kecenderungan
sebagai berikut: 1). Semakin tinggi jenjang pendidikan semakin besar
kemungkinan terjadinya pengangguran; 2). Pada tingkat pendidikan SLTP kebawah
cenderung terdapat kekurangan tenaga kerja terdidik; 3). Tamatan SLTA cenderung
untuk menganggur dan jumlahnya semakin besar; 40. surplus lulusan Perguruan
Tinggi cenderung berlipat ganda dari tahun ke tahun.
Gambaran
mengenai kesenjangan supply dan demand lulusan pendidikan tinggi kita buka
terletak pada angka absolutnya, karena sebenarnya kita masih kekurangan tenaga
lulusan Perguruan Tinggi. Kekurangan ini masih dipersulit lagi dengan adanya
”mis-match” jenis keahlian yang diproduksi oleh pendidikan tinggi kita.
Menurut
Darlaini Nasution SE ada tiga faktor mendasar yang menjadi penyebab masih
tingginya tingkat pengangguran di Indonesia. Ketiga faktor tersebut adalah,
ketidaksesuaian antara hasil yang dicapai antara pendidikan dengan lapangan
kerja, ketidakseimbangan demand (permintaan) dan supply (penawaran) dan
kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang dihasilkan masih rendah. Ia
menjelaskan, lapangan pekerjaan yang membutuhkan tenaga kerja umumnya tidak
sesuai dengan tingkat pendidikan atau ketrampilan yang dimiliki.
Umumnya
perusahaan atau penyedia lapangan kerja membutuhkan tenaga yang siap pakai,
artinya sesuai dengan pendidikan dan ketrampilannya, namun dalam kenyataan
tidak banyak tenaga kerja yang siap pakai tersebut. Justru yang banyak adalah
tenaga kerja yang tidak sesuai dengan job yang disediakan.
Kalau
kita flasback pada tahun-tahun yang lalu, Berdasarkan data dari Departemen
Tenaga Kerja pada tahun 1997 jumlah pengangguran terbuka sudah mencapai sekitar
10% dari sekitar 90 juta angkatan kerja yang ada di Indonesia, dan jumlah
inipun belum mencakup pengangguran terselubung. Jika persentase pengangguran
total dengan melibatkan jumlah pengangguran terselubung dan terbuka hendak
dilihat angkanya, maka angkanya sudah mencapai 40% dari 90 juta angkatan kerja
yang berarti jumlah penganggur mencapai sekitar 36 juta orang. Adapun
pengangguran terselubung adalah orang-orang yang menganggur karena bekerja di
bawah kapasitas optimalnya. Para penganggur terselubung ini adalah orang-orang
yang bekerja di bawah 35 jam dalam satu minggunya. Jika kita berasumsi bahwa
krisis ekonomi hingga saat ini belum juga bisa terselesaikan maka angka-angka
tadi dipastikan akan lebih melonjak.
Ledakan
pengangguranpun berlanjut di tahun 1998, di mana sekitar 1,4 juta pengangguran
terbuka baru akan terjadi. Dengan perekonomian yang hanya tumbuh sekitar 3,5
sampai 4%, maka tenaga kerja yang bisa diserap hanya sekitar 1,3 juta orang.
Sisanya menjadi tambahan pengangguran terbuka tadi. Total pengangguran jadinya
akan melampauai 10 juta orang. Berdasarkan pengalaman, jika kita mengacu pada
data-data tahun 1996 maka pertumbuhan ekonomi sebesar 3,5 sampai 4% belumlah
memadai. Berdasarkan data sepanjang di tahun 1996, perekonomian hanya mampu
menyerap 85,7 juta orang dari jumlah angkatan kerja 90,1 juta orang. Tahun 1996
perekonomian mampu menyerap jumlah tenaga kerja dalam jumlah relatif besar
karena ekonomi nasional tumbuh hingga 7,98 persen. Tahun 1997 dan 1998,
pertumbuhan ekonomi dapat dipastikan tidak secerah tahun 1996, karena pada
tahun 2007 adalah awal mula terjadinya krisis moneter.
ketika menginjak
tahun 2000, jumlah pengangguran di tahun 2000
ini
sudah menurun dibanding tahun 1999. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi tahun
2000 yang meningkat menjadi 4,8 persen. Pengangguran tahun 1999 yang semula
6,01 juga turun menjadi 5,87 juta orang. Sedang setengah pengangguran atau
pengangguran terselubung juga menurun dari 31,7 juta menjadi 30,1 juta orang
pada tahun 2000. Jumlah pengangguran saat ini mencapat sekitar 35,97 juta
orang, namun pemerintah masih memfokuskan penanggulangan pengangguran ini pada
16,48 juta orang. Jumlah pengangguran pada tahun 2001 mencapai 35,97 juta orang
yang diperkirakan bisa bertambah bila pemulihan ekonomi tidak segera berjalan
dengan baik.
Dan
kini, pada tahun 2008 ini jumlah pengangguran di Indonesia ditargetkan turun
menjadi 8,9 persen dibanding 2007 yang masih 9,7 persen. Untuk mengurangi
jumlah pengangguran maupun kemiskinan, pemerintah perlu melakukan berbagai
langkah strategis seperti pemberdayaan masyarakat. Untuk mendukung pemberdayaan
itu, pemerintah harus memfasilitasi dan menciptakan iklim yang kondusif. Namun,
banyak tantangan yang dihadapi pemerintah dalam mengupayakan langkah tersebut,
terutama karena keterbatasan dana.
Pengangguran
intelektual di Indonesia cenderung terus meningkat dan semakin mendekati titik
yang mengkhawatirkan. Pada tahun 2003 jumlah pengangguran intelektual
diperkirakan mencapai 24,5 persen. Pengangguran intelektual ini tidak terlepas
dari persoalan dunia pendidikan yang tidak mampu menghasilkan tenaga kerja
berkualitas sesuai tuntutan pasar kerja sehingga seringkali tenaga kerja
terdidik kita kalah bersaing dengan tenaga kerja asing. Fenomena inilah yang
sedang dihadapi oleh bangsa kita di mana para tenaga kerja yang terdidik banyak
yang menganggur walaupun mereka sebenarnya menyandang gelar.
Salah
satu faktor yang mengakibatkan tingginya angka pengangguran di negara kita
adalah terlampau banyak tenaga kerja yang diarahkan ke sektor formal sehingga
ketika mereka kehilangan pekerjaan di sektor formal, mereka
kelabakan
dan tidak bisa berusaha untuk menciptakan pekerjaan sendiri disektor informal.
Justru orang-orang yang kurang berpendidikan bisa melakukan inovasi menciptakan
kerja, entah sebagai joki yang menumpang di mobil atau joki payung kalau
hujan.Meski ada kecenderungan pengangguran terdidik semakin meningkat namun
upaya perluasan kesempatan pendidikan dari pendidikan menengah sampai
pendidikan tinggi tidak boleh berhenti. Akan tetapi pemerataan pendidikan itu
harus dilakukan tanpa mengabaikan mutu pendidikan itu sendiri. Karena itu maka
salah satu kelemahan dari sistem pendidikan kita adalah sulitnya memberikan
pendidikan yang benar-benar dapat memupuk profesionalisme seseorang dalam
berkarier atau bekerja. Saat ini pendidikan kita terlalu menekankan pada segi
teori dan bukannya praktek. Pendidikan seringkali disampaikan dalam bentuk yang
monoton sehingga membuat para siswa menjadi bosan. Di negara-negara maju,
pendidikkan dalam wujud praktek lebih diberikan dalam porsi yang lebih besar.
Di negara kita, saat ini ada kecenderungan bahwa para siswa hanya mempunyai
kebiasaan menghafal saja untuk pelajaran-pelajaran yang menyangkut ilmu sosial,
bahasa, dan sejarah atau menerima saja berbagai teori namun sayangnya para
siswa tidak memiliki kemampuan untuk menggali wawasan pandangan yang lebih luas
serta cerdas dalam memahami dan mengkaji suatu masalah. Sedangkan untuk ilmu
pengetahuan alam para siswa cenderung hanya diberikan latihan soal-soal yang
cenderung hanya melatih kecepatan dalam berpikir untuk menemukan jawaban dan
bukannya mempertajam penalaran atau melatih kreativitas dalam berpikir.
Contohnya
seperti seseorang yang pandai dalam mengerjakan soal-soal matematika bukan
karena kecerdikan dalam melakukan analisis terhadap soal atau kepandaian dalam
membuat jalan perhitungan tetapi karena dia memang sudah hafal tipe soalnya.
Kenyataan inilah yang menyebabkan sumber daya manusia kita ketinggalan jauh
dengan sumber daya manusia yang ada di negara-negara maju. Kita hanya pandai
dalam teori tetapi gagal dalam praktek dan dalam profesionalisme pekerjaan
tersebut. Rendahnya kualitas tenaga kerja terdidik kita juga adalah karena kita
terlampau melihat pada gelar tanpa secara serius membenahi kualitas dari
kemampuan di bidang yang kita tekuni.
Sehingga karena hal
inilah maka para tenaga kerja terdidik sulit bersaingdengan tenaga kerja asing
dalam usaha untuk mencari pekerjaan.
Salah
satu penyebab pengangguran di kalangan lulusan perguruan tinggi adalah karena
kualitas pendidikan tinggi di Indonesia yang masih rendah. Akibatnya lulusan
yang dihasilkanpun kualitasnya rendah sehingga tidak sesuai dengan tuntutan dan
kebutuhan masyarakat. Pengangguran terdidik dapat saja dipandang sebagai
rendahnya efisiensi eksternal sistem pendidikan. Namun bila dilihat lebih jauh,
dari sisi permintaan tenaga kerja, pengangguran terdidik dapat dipandang
sebagai ketidakmampuan ekonomi dan pasar kerja dalam menyerap tenaga terdidik
yang muncul secara bersamaan dalam jumlah yang terus berakumulasi.
Sebagai
solusi pengangguran, berbagai strategi dan kebijakan dapat ditempuh, misalnya
setiap penganggur diupayakan memiliki pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan
artinya produktif dan remuneratif sesuai Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945 dengan
partisipasi semua masyarakat Indonesia. Lebih tegas lagi jadikan penanggulangan
pengangguran menjadi komitmen nasional.
Untuk
itu diperlukan dua kebijakan, yaitu kebijakan makro dan mikro (khusus).
Kebijakan mikro (khusus) dapat dijabarkan dalam beberapa poin:27 Pertama,
pengembangan mindset dan wawasan penganggur, berangkat dari kesadaran bahwa
setiap manusia sesungguhnya memilki potensi dalam dirinya namun sering tidak
menyadari dan mengembangkan secara optimal. Dengan demikian, diharapkan setiap
pribadi sanggup mengaktualisasikan potensi terbaiknya dan dapat menciptakan
kehidupan yang lebih baik, bernilai dan berkualitas bagi dirinya sendiri maupun
masyarakat luas.
Kepribadian
yang matang, dinamis dan kreatif memiliki tujuan dan visi yang jauh ke depan,
berani mengambil tantangan serta mempunyai mindset yang benar. Itu merupakan
tuntutan utama dan mendasar di era globalisasi dan informasi yang sangat
kompetitif dewasa ini dan di masa-masa mendatang. Perlu diyakini oleh setiap
orang, kesuksesan yang hakiki berawal dari sikap mental kita untuk berani
berpikir dan bertindak secara nyata, tulus, jujur matang, sepenuh hati,
profesional dan bertanggung jawab. Kebijakan ini dapat diimplementasikan
menjadi gerakan nasional melalui kerja sama dengan lembaga pelatihan yang kompeten
untuk itu.
Kedua,
melakukan pengembangan kawasan-kawasan, khususnya yang tertinggal dan terpencil
sebagai prioritas dengan membangun fasilitas transportasi dan komunikasi. Ini
akan membuka lapangan kerja bagi para penganggur di berbagai jenis maupun tingkatan.
Ketiga,
segera membangun lembaga sosial yang dapat menjamin kehidupan penganggur. Hal
itu dapat dilakukan serentak dengan pendirian Badan Jaminan Sosial Nasional
dengan embrio mengubah PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PT Jamsostek) menjadi
Badan Jaminan Sosial Nasional yang terdiri dari berbagai devisi menurut
sasarannya. Dengan membangun lembaga itu, setiap penganggur di Indonesia akan
tercatat dengan baik dan mendapat perhatian khusus.
Keempat,
menyederhanakan perizinan karena dewasa ini terlalu banyak jenis perizinan yang
menghambat investasi baik Penanamaan Modal Asing (PMA), Penanaman Modal Dalam
Negeri (PMDN) dan investasi masyarakat secara perorangan maupun berkelompok.
Itu semua perlu segera dibahas dan disederhanakan sehingga merangsang pertumbuhan
investasi untuk menciptakan lapangan kerja baru.
Kelima,
mengaitkan secara erat (sinergi) masalah pengangguran dengan masalah di wilayah
perkotaan lainnya, seperti sampah, pengendalian banjir, dan lingkungan yang
tidak sehat. Sampah, misalnya, terdiri dari bahan organik yang dapat dijadikan
kompos dan bahan non-organik yang dapat didaur ulang. Sampah sebagai bahan baku
pupuk organik dapat diolah untuk menciptakan lapangan kerja dan pupuk organik
itu dapat didistribusikan ke wilayah-wilayah tandus yang berdekatan untuk
meningkatkan produksi lahan. Semuanya mempunyai nilai ekonomis tinggi dan akan
menciptakan lapangan kerja.
Keenam,
mengembangkan suatu lembaga antarkerja secara profesional. Lembaga itu dapat
disebutkan sebagai job center dan dibangun dan dikembangkan secara profesional
sehingga dapat membimbing dan menyalurkan para pencari kerja. Pengembangan
lembaga itu mencakup, antara lain sumber daya manusianya (brainware), perangkat
keras (hardware), perangkat lunak (software), manajemen dan keuangan. Lembaga
itu dapat di bawah lembaga jaminan sosial penganggur atau bekerja sama
tergantung kondisinya.
Ketujuh,
menyeleksi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang akan dikirim ke luar negeri. Perlu
seleksi lebih ketat terhadap pengiriman TKI ke luar negeri. Sebaiknya
diupayakan tenaga-tenaga terampil (skilled). Hal itu dapat dilakukan dan
diprakarsai oleh Pemerintah Pusat dan Daerah.
Bagi
pemerintah Daerah yang memiliki lahan cukup, gedung, perbankan, keuangan dan
aset lainnya yang memadai dapat membangun Badan Usaha Milik Daerah Pengerahan
Jasa Tenaga Kerja Indonesia ke luar negeri (BUMD-PJTKI). Tentunya badan itu
diperlengkapi dengan lembaga pelatihan (Training Center) yang kompeten untuk
jenis-jenis keterampilan tertentu yang sangat banyak peluang di negara lain. Di
samping itu, perlu dibuat peraturan tersendiri tentang pengiriman TKI ke luar
negeri seperti di Filipina.
Kedelapan,
penyempurnakan kurikulum dan sistem pendidikan nasional (Sisdiknas). Sistem
pendidikan dan kurikulum sangat menentukan kualitas pendidikan. Karena itu,
Sisdiknas perlu reorientasi supaya dapat mencapai tujuan pendidikan secara
optimal. Pengembangan sistem pendidikan nasional perlu direstrukturisasi.
Perestroika sistem pendidikan tinggi meliputi berbagai aspek, antara lain
keseimbangan program studi dan peningkatan mutu.
Kesembilan,
upayakan untuk mencegah perselisihan hubungan industrial (PHI) dan pemutusan
hubungan kerja (PHK). PHI dewasa ini sangat banyak berperan terhadap penutupan
perusahaan, penurunan produktivitas, penurunan permintaan produksi industri
tertentu dan seterusnya. Akibatnya, bukan hanya tidak mampu menciptakan
lapangan kerja baru, justru sebaliknya bermuara pada PHK yang berarti menambah
jumlah penganggur.
Kesepuluh,
segera mengembangkan potensi kelautan kita. Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) mempunyai letak geografis yang strategis yang sebagian besar berupa
lautan dan pulau-pulau yang sangat potensial sebagai negara maritim. Potensi
kelautan Indonesia perlu dikelola lebih baik supaya dapat menciptakan lapangan
kerja yang produktif dan remuneratif.
III. Kesimpulan
1. Konsep Link and
Match (keterkaitan dan kesepadanan) merupakan konsep keterkaitan antara lembaga
pendidikan denagn dunia kerja, atau denagn kata lain Link and Match ini adalah
keterkaitan antara pemasok tenaga kerja dengan penggunanya. Dengan adanya
keterkaitan ini maka pendidikan sebaagi pemasok tenaga kerja dapat mengadakan
hubunga-hubungan dengan dunia usaha/industri.
2. Dengan link dan
match ini suatu lembaga khususnya Perguruan Tinggi bisa mengadakan kerja sama
dengan pihak lain khususnya dengan perusahaan atau industri agar mahasiswa bisa
magang di perusahaan tersebut. Perguruan tinggi harus mau melakukan riset ke
dunia kerja. Denagn adanya Link and Match tersebut Perguruan Tinggi dapat mengetahui
kompentensi (keahlian) apa yang paling dibutuhkan dunia kerja dan kompetensi
apa yang paling banyak dibutuhkan dunia kerja. Selain itu, Perguruan Tinggi
juga akan dapat memprediksi dan mengantisipasi keahlian (kompetensi) apa yang
diperlukan dunia kerja dan teknologi sepuluh tahun ke depan. Dan yang lebih
penting Perguruan Tinggi harus menjalin relasi dan menciptakan link dengan
banyak perusahaan agar bersedia menjadi arena belajar kerja (magang) bagi
mahasiswa yang akan lulus. Dengan magang langsung (on the spot) ke dunia kerja
seperti itu, lulusan tidak hanya siap secara teori tetapi juga siap secara
praktik.
3. Adapun
pendekatan yang digunakan untuk mewujudkan Link and Match adalah pendekatan
social dan pendekatan ketenagakerjaan. Pendekatan sosial merupakan pendekatan
yang didasarkan atas keperluan masyarakat yang mana pendekatan ini menitik
beratkan pada tujuan pendidikan dan pemerataan kesempatan dalam mendapatkan
pendidikan. pendekatan sosial merupakan pendekatan tradisional bagi pembangunan
pendidikan dengan menyediakan lembaga-lembaga dan fasilitas demi memenuhi
tekanan tekanan untuk memasukan sekolah serta memungkinkan pemberian kesempatan
kepada murit dan orang tua secara bebas.
Pendekatan
ketenagakerjaan merupakan pendekatan yang mengutamakan kepada keterkaitan
luusan sistem pendidikan dengan tuntutan terhadap tenaga kerja pada berbagai
sektor pembangunan dengan tujuan yang akan dicapai adalah bahwa pendidikan itu
diperlukan untuk membantu lulusan memperoleh kesempatan kerja yang lebih baik sehingga
tingkat kehidupannya dapat diperbaiki.
4. Pendidikan
formal dianggap sebagai penentu dalam menunjang pertumbuhan ekonomi, dan titik
temu antara pendidikan dan pertumbuhan ekonomi adalah produktivitas kerja,
dengan asumsi bahwa semakin tinggi mutu pendidikan, semakin tinggi
produktivitas kerja, semakin tinggi pula pengaruhnya terhadap pertumbuhan
ekonomi suatu masyarakat. Anggapan ini mengacu pada teori Human Capital yang
menerangkan bahwa pendidikan memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi karena
pendidikan berperan di dalam meningkatkan produktivitas kerja.
DAFTAR PUSTAKA
Cammings, Williams.
Studi Pendidikan dan Tenaga Kerja pada Beberapa Industri Besar di Indonesia.
Jakarta: Pusat Penelitian BP3K.
Enoch, Jusuf. 1992.
Dasar-Dasar Perencanaan. Jakarta: Bumi Aksara.
Hasibuan, Sayuti.
1987. Changing Manpower Requirements in The Face of Non-Oil Growth, Labor Force
Growth and Fast Tehnological Change. Jakarta: Bappenas.
Indar,
Djumberansyah. 1995. Perencanaan Pendidikan Strategi dan Implementasinya.
Surabaya: Karya Aditama.
Limongan, Andreas.
Masalah Pengangguran di Indonesia. Diakses Tanggal 07 Januari 2008.
Sa’ud, Udin
Syaefudin dan Abin Syamsuddin Makmun, 2006. Perencanaan Pendidikan Suatu
Pendekatan Komprehensif . Bandung: Remaja Rosdakarya. Cet II.